Sabtu, 30 Juni 2012

BPH

ASUHAN  KEPERAWATAN KLIEN LANJUT USIA
DENGAN BPH












Disusun Oleh :
1.      Aryo Dwi Nugroho             ( J210090095 )
2.      Aji Galih                             ( J210090099 )
3.      Edi Sumarwan                    ( J210090109)
4.      Muhammad Nugrahadi       ( J210090114)
5.      Dewi Diyah                        ( J210090122 )
6.      Glaudya Aurora                  ( J210090124 )
7.      Anita Putri                          ( J210090125 )



KEPERAWATAN S1
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012















BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI


A.     Pengertian
Benigna  Prostat  Hiperplasi ( BPH )  adalah   pembesaran  jinak   kelenjar  prostat,  disebabkan  oleh  karena  hiperplasi  beberapa  atau  semua  komponen  prostat  meliputi  jaringan  kelenjar / jaringan  fibromuskuler  yang   menyebabkan  penyumbatan   uretra   pars  prostatika  ( Lab / UPF  Ilmu  Bedah  RSUD  dr.  Sutomo,  1994  :  193 ).
BPH  adalah  pembesaran    progresif   dari  kelenjar  prostat  ( secara  umum  pada  pria  lebih  tua  dari  50  tahun  )  menyebabkan   berbagai   derajat  obstruksi  uretral   dan  pembatasan    aliran  urinarius   ( Marilynn,  E.D,  2000 : 671 ).

B.     Etiologi

Penyebab  yang  pasti  dari  terjadinya  BPH  sampai  sekarang  belum  diketahui.  Namun  yang  pasti  kelenjar  prostat  sangat  tergantung  pada  hormon  androgen.  Faktor  lain  yang  erat  kaitannya   dengan  BPH  adalah  proses  penuaan  Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :

1).       Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen  menyebabkan  epitel  dan  stroma  dari  kelenjar  prostat  mengalami  hiperplasi .
2).       Perubahan  keseimbangan  hormon  estrogen  -  testoteron
Pada  proses  penuaan  pada  pria  terjadi  peningkatan  hormon  estrogen  dan  penurunan   testosteron  yang  mengakibatkan  hiperplasi  stroma.
3).       Interaksi  stroma  -  epitel
Peningkatan  epidermal  gorwth  factor  atau  fibroblast   growth    factor  dan  penurunan  transforming  growth  factor  beta  menyebabkan  hiperplasi  stroma  dan  epitel.
4).       Berkurangnya  sel  yang  mati
Estrogen  yang  meningkat  menyebabkan   peningkatan  lama  hidup stroma  dan  epitel  dari  kelenjar  prostat.
5).       Teori  sel  stem
Sel  stem  yang  meningkat  mengakibatkan    proliferasi  sel  transit  ( Roger  Kirby,  1994 :  38 ).

C.     Anatomi Dan Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
·           Jaringan Kelenjar       ®        50  -  70   %
·           Jaringan Stroma (penyangga)  30 -  50%
·           Kapsul/Musculer  30 – 50 %

Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.

D.    Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1.         Gejala Obstruktif yaitu :
a.       Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b.      Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c.       Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d.      Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e.       Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2.       Gejala Iritasi yaitu :
a.         Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b.        Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c.         Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

E.       Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11)







Derajat Benigne Prostat Hyperplasia
Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1.         Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2.         Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3.         Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4.         Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.



A.       Pemariksaan Penunjang
§ Dilakukan  dengan  pemeriksaan  tekanan  darah,  nadi  dan  suhu.  Nadi  dapat  meningkat  pada  keadaan  kesakitan  pada  retensi  urin  akut,  dehidrasi  sampai  syok  pada  retensi  urin  serta  urosepsis  sampai  syok - septik.
§ Pemeriksaan  abdomen  dilakukan  dengan  tehnik  bimanual  untuk  mengetahui  adanya  hidronefrosis,  dan  pyelonefrosis.  Pada  daerah  supra  simfiser  pada  keadaan  retensi  akan  menonjol.  Saat  palpasi  terasa  adanya  ballotemen  dan  klien  akan  terasa  ingin  miksi. Perkusi  dilakukan  untuk  mengetahui  ada  tidaknya  residual  urin.
§ Penis  dan  uretra  untuk  mendeteksi  kemungkinan  stenose  meatus,  striktur  uretra,  batu  uretra,  karsinoma  maupun  fimosis.
§ Pemeriksaan  skrotum  untuk  menentukan  adanya  epididimitis
§ Rectal  touch / pemeriksaan  colok  dubur  bertujuan  untuk  menentukan  konsistensi  sistim  persarafan  unit  vesiko  uretra  dan  besarnya  prostat.  Dengan  rectal  toucher  dapat  diketahui  derajat  dari  BPH,  yaitu :
a). Derajat  I   =  beratnya  ±  20 gram.
b). Derajat  II  =  beratnya  antara  20 – 40  gram.
c). Derajat  III =  beratnya  > 40  gram.

Pemeriksaan  Laboratorium
§    Pemeriksaan  darah  lengkap,  faal  ginjal,  serum  elektrolit  dan  kadar  gula  digunakan  untuk  memperoleh  data  dasar  keadaan  umum  klien. 
§    Pemeriksaan  urin  lengkap  dan  kultur.
§    PSA  (Prostatik  Spesific  Antigen)  penting diperiksa  sebagai  kewaspadaan  adanya  keganasan.
§    Pemeriksaan  Uroflowmetri
Salah  satu  gejala  dari  BPH  adalah  melemahnya  pancaran  urin.  Secara  obyektif  pancaran  urin  dapat  diperiksa  dengan  uroflowmeter  dengan  penilaian :
a.         Flow  rate  maksimal  >  15 ml / dtk    =  non  obstruktif.
b.         Flow  rate  maksimal 10 – 15  ml / dtk =  border  line.
c.         Flow  rate  maksimal  <  10 ml / dtk    =  obstruktif.
Pemeriksaan  Imaging  dan  Rontgenologik
a).    BOF  (Buik  Overzich ) :Untuk  melihat  adanya  batu  dan  metastase  pada  tulang.
b).    USG  (Ultrasonografi), digunakan  untuk  memeriksa  konsistensi,  volume  dan    besar  prostat  juga  keadaan  buli – buli  termasuk  residual  urin.  Pemeriksaan  dapat  dilakukan  secara  transrektal,  transuretral  dan  supra  pubik. 
c).    IVP  (Pyelografi  Intravena)
Digunakan  untuk  melihat  fungsi  exkresi  ginjal  dan  adanya  hidronefrosis. 
d).    Pemeriksaan  Panendoskop
Untuk    mengetahui   keadaan  uretra  dan  buli – buli.


B.       Penatalaksanaan

Modalitas  terapi  BPH  adalah :
1).       Observasi
     Yaitu  pengawasan  berkala  pada  klien  setiap  3 – 6   bulan  kemudian  setiap  tahun  tergantung  keadaan  klien
2).       Medikamentosa
Terapi  ini  diindikasikan  pada  BPH  dengan  keluhan  ringan,  sedang,  dan  berat  tanpa  disertai  penyulit. Obat  yang  digunakan    berasal    dari:   phitoterapi   (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens,  dll),  gelombang  alfa  blocker  dan  golongan   supresor   androgen.
3).       Pembedahan
Indikasi  pembedahan  pada  BPH  adalah :
a).    Klien  yang  mengalami  retensi  urin  akut  atau  pernah  retensi  urin  akut.
b).    Klien  dengan  residual  urin  >  100  ml.
c).    Klien  dengan  penyulit.
d).    Terapi  medikamentosa  tidak  berhasil.
e).    Flowmetri  menunjukkan  pola  obstruktif.
Pembedahan  dapat  dilakukan  dengan :
a).    TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 - 95  % )
b).    Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c).    Perianal Prostatectomy
d).    Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4).       Alternatif  lain  (misalnya:  Kriyoterapi,  Hipertermia,  Termoterapi,  Terapi  Ultrasonik .

C.       Asuhan keperawatan
ü  Pengkajian
Riwayat Keperawatan
·           Suspect BPH ® umur > 60 tahun
·           Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.
·           Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.
·           BPH ® hematuri

ü  Pemeriksaan Fisik
·           Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
·           Distensi kandung kemih
·           Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik ® retensi urine
·           Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil ® retensi urine
·           Perkusi : Redup ® residual urine
·           Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
·           Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) ® posisi knee chest
Syarat          :           buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan          :           Menentukan konsistensi prostat
Menentukan besar prostat


ü  Diagnosa keperawatan

1.      Sebelum operasi  
 
a.        Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
1)      Tujuan  : tidak terjadi obstruksi
2)      Kriteria hasil :
3)      Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
Rencana tindakan dan rasional
1.      Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
      R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2.      Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
      R /  Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3.      Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam  saluran perkemihan  yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4.      Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5.      Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan

b.      Nyeri  ( akut )  berhubungan  dengan  iritasi  mukosa  buli –   buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
1).       Tujuan
  Nyeri  hilang  /  terkontrol.
2).       Kriteria  hasil
Klien  melaporkan  nyeri  hilang  /  terkontrol,  menunjukkan  ketrampilan  relaksasi  dan   aktivitas  terapeutik  sesuai  indikasi  untuk  situasi  individu.  Tampak rileks,  tidur  /  istirahat  dengan  tepat.
3).       Rencana tindakan  dan  rasional
a)      Kaji nyeri,  perhatikan  lokasi,  intensitas  ( skala  0 - 10 ).
R / Nyeri  tajam,  intermitten  dengan  dorongan  berkemih  /  masase  urin  sekitar  kateter  menunjukkan  spasme  buli-buli,  yang  cenderung  lebih berat  pada  pendekatan  TURP  ( biasanya  menurun  dalam  48 jam ).
b)      Pertahankan patensi  kateter  dan  sistem  drainase.  Pertahankan   selang  bebas  dari  lekukan  dan  bekuan.
R/ Mempertahankan  fungsi  kateter  dan  drainase  sistem,  menurunkan  resiko  distensi  /  spasme  buli - buli.
c). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan  
                      R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
d) Berikan  tindakan  kenyamanan  ( sentuhan  terapeutik, pengubahan  posisi,  pijatan  punggung )  dan aktivitas  terapeutik. 
R /   Menurunkan  tegangan  otot,  memfokusksn  kembali  perhatian dan  dapat  meningkatkan  kemampuan  koping.
e)  Berikan  rendam  duduk  atau  lampu  penghangat  bila  diindikasikan.
R/ Meningkatkan   perfusi  jaringan  dan  perbaikan  edema  serta   meningkatkan  penyembuhan ( pendekatan  perineal ).
f) Kolaborasi  dalam pemberian  antispasmodik
     R / Menghilangkan spasme 


c.       Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1). Tujuan
     Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2). Kriteria hasil
      Mempertahankan  hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda  vital  stabil,  nadi  perifer  teraba,  pengisian perifer baik,  membran   mukosa  lembab  dan   keluaran  urin  tepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a).    Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/  Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan  jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
b).    Pantau  masukan  dan  haluaran  cairan.
R/  Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
c).      Awasi  tanda-tanda  vital,  perhatikan  peningkatan  nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
 R/  Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d).      Tingkatkan tirah baring  dengan kepala lebih tinggi
R/  Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
g).      Kolaborasi  dalam  memantau  pemeriksaan  laboratorium  sesuai  indikasi,  contoh:
Hb / Ht,  jumlah  sel  darah  merah. Pemeriksaan  koagulasi,  jumlah  trombosi
R/   Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan  penggantian. Serta dapat  mengindikasikan  terjadinya  komplikasi misalnya  penurunan  faktor  pembekuan  darah,

d.    Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
1).    Tujuan
Pasien tampak rileks.
2).    Kriteria hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
3).    Rencana  tindakan  dan  rasional
a). Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/   Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
b). Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.  
R /  Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
c). Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah

e.    Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
1).    Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
2).    Kriteria  hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program pengobatan.
3).    Rencana   tindakan   dan   rasional
a).    Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
      R /  Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
 b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.


II.    Sesudah operasi

1.      Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
-         Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
-         Ekspresi wajah klien tenang.
-         Klien akan menunjukkan ketrampilan  relaksasi.
-         Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
-         Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1.      Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2.      Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
       R/ Menentukan terdapatnya spasmus  sehingga obat – obatan bisa   diberikan
3.      Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4.      Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5.      Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6.      Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7.      Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8.      Observasi tanda – tanda vital
R/  Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9.      Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah  spasmus kandung kemih.

  1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
-      Klien tidak mengalami infeksi.
-      Dapat mencapai waktu penyembuhan.
-      Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1.      Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2.      Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
3.      Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4.      Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
            R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5.      Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6.      Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
-               Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
-               Tanda – tanda vital dalam batas normal .
-               Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
2.         Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui  tanda – tanda perdarahan
3.      Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/  Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
4.      Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk   memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
5.         Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
                        R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5.  Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi  dilepas .
                                    R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
 6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan  warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .

4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
-         Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
-         Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
-         Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
-         Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1 . Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap seksual .
      R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2 . Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan  kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
      R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3 . Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
                R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4 . Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi  kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
                  
5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan Kriteria hasil:
-         Klien akan melakukan perubahan perilaku.
-         Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
-Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .

Rencana tindakan:
1.   Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2.   Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6  minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3.   Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4.   Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
      Kriteria hasil:
-         Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
-         Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
-         Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1.      Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2.      Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3.      Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
     R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4.      Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .

DAFTAR  PUSTAKA


Doenges, M.E., Marry, F..M  and  Alice, C.G., 2000. Rencana  Asuhan  Keperawatan :  Pedoman  Untuk  Perencanaan  Dan  Pendokumentasian  Perawatan  Pasien. Jakarta, Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.

Long, B.C., 1996.  Perawatan  Medikal  Bedah : Suatu  Pendekatan  Proses  Keperawatan. Jakarta,  Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.

Lab / UPF  Ilmu  Bedah, 1994.  Pedoman  Diagnosis  Dan  Terapi. Surabaya, Fakultas  Kedokteran  Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.